Soal cara memberikan saran itu ada beberapa macam. Ini bisa dipelajari ketika belajar di sekolah Manajemen lokal. Salah satunya yang diajarkan adalah kita kemukakan apa yang ada dan dilanjutkan dengan “tetapi”….
Saran dengan menggunakan kata “tetapi” itu adalah baik, kalau orang yang diajak bicara itu punya cukup pengetahuan dan juga mau mendengar apa yang disarankan.
Contoh: Masakan yang Anda masak itu sudah enak, tetapi akan lebih baik kalau dikurangi garamnya…. , ini tentunya lebih enak didengar daripada kalau kita langsung katakan “masakan Anda itu asin”…..
Terus terang dengan contoh diatas ini saya tidak melihat apa jeleknya menggunakan kata “tetapi”. Apalagi kata “tetapi” itu bukan sesuatu yang negatif, melainkan memberikan alternatif yang sangat cocok dengan kondisi memberikan saran. Juga yang namanya saran itu kan tergantung dari yang melihatnya, jadi kalau memang ada saran ya jangan di-vonis dulu ini “saran sumbang”; apalagi kalau semua yang pakai tetapi itu dianggap “saran sumbang”.
Saya kurang setuju kalau kritik “bisik-bisik” sedang kalau memuji harus yang “kenceng”. Apa ini bukan mental ABS ? Jaman Orba dulu, memang hal seperti itu dilakukan, karena Presiden RI ke dua kurang suka kalau dikritik; tetapi apa kita mau balik lagi ke jaman ORBA dan kita menghidupkan pola ABS di komunitas Anda ?
Sebetulnya yang jadi masalah bukanlah saran atau caranya, tetapi lebih banyak karena orang yang mau diberi saran ini diam seribu bahasa. Kita ini berdiskusi / mengkritik / memberikan pendapat dan lain sebagainya dalam rangka untuk kepentingan komunitas.
Tetapi seperti kita semua tahu, apa yang terjadi ? Apa yang kita bicarakan atau sarankan tidak ditanggapi oleh yang diberi saran, yang ngotot menanggapi justru orang-orang diluar lingkaran dalam. Memang orang-orang di lingkaran dalam tidak pernah minta saran secara langsung. Apakah hal ini pantas menurut aturan sopan-santun komunikasi ? Mungkin apa yang ditulis itu kurang enak buat telinga & mata mereka, tapi jawab dong…..; apalagi kalau berupa pertanyaan, supaya komunikasi-nya jalan.
Penggunaan kata-kata memang bisa sangat merusak, apalagi kalau yang diharapkan membaca tulisan tersebut sudah pandangan yang apriori dulu terhadap kelompok yang menulis saran. Memang kata-kata seperti “serbu” dan “kritik” itu punya konotasi negatif, tetapi tidak seharusnya kita melihat atau membaca apa yang tertulis itu hanya dari satu atau dua kata saja. Konteks dari tulisan itu yang penting, kalau ada satu atau dua kata yang tidak enak itu bisa saja diabaikan. Juga seharusnya yang membaca saran bisa minta keterangan lebih jauh. Ini namanya komunikasi dua arah dan dilakukan secara sehat.
Saran dengan menggunakan kata “tetapi” itu adalah baik, kalau orang yang diajak bicara itu punya cukup pengetahuan dan juga mau mendengar apa yang disarankan.
Contoh: Masakan yang Anda masak itu sudah enak, tetapi akan lebih baik kalau dikurangi garamnya…. , ini tentunya lebih enak didengar daripada kalau kita langsung katakan “masakan Anda itu asin”…..
Terus terang dengan contoh diatas ini saya tidak melihat apa jeleknya menggunakan kata “tetapi”. Apalagi kata “tetapi” itu bukan sesuatu yang negatif, melainkan memberikan alternatif yang sangat cocok dengan kondisi memberikan saran. Juga yang namanya saran itu kan tergantung dari yang melihatnya, jadi kalau memang ada saran ya jangan di-vonis dulu ini “saran sumbang”; apalagi kalau semua yang pakai tetapi itu dianggap “saran sumbang”.
Saya kurang setuju kalau kritik “bisik-bisik” sedang kalau memuji harus yang “kenceng”. Apa ini bukan mental ABS ? Jaman Orba dulu, memang hal seperti itu dilakukan, karena Presiden RI ke dua kurang suka kalau dikritik; tetapi apa kita mau balik lagi ke jaman ORBA dan kita menghidupkan pola ABS di komunitas Anda ?
Sebetulnya yang jadi masalah bukanlah saran atau caranya, tetapi lebih banyak karena orang yang mau diberi saran ini diam seribu bahasa. Kita ini berdiskusi / mengkritik / memberikan pendapat dan lain sebagainya dalam rangka untuk kepentingan komunitas.
Tetapi seperti kita semua tahu, apa yang terjadi ? Apa yang kita bicarakan atau sarankan tidak ditanggapi oleh yang diberi saran, yang ngotot menanggapi justru orang-orang diluar lingkaran dalam. Memang orang-orang di lingkaran dalam tidak pernah minta saran secara langsung. Apakah hal ini pantas menurut aturan sopan-santun komunikasi ? Mungkin apa yang ditulis itu kurang enak buat telinga & mata mereka, tapi jawab dong…..; apalagi kalau berupa pertanyaan, supaya komunikasi-nya jalan.
Penggunaan kata-kata memang bisa sangat merusak, apalagi kalau yang diharapkan membaca tulisan tersebut sudah pandangan yang apriori dulu terhadap kelompok yang menulis saran. Memang kata-kata seperti “serbu” dan “kritik” itu punya konotasi negatif, tetapi tidak seharusnya kita melihat atau membaca apa yang tertulis itu hanya dari satu atau dua kata saja. Konteks dari tulisan itu yang penting, kalau ada satu atau dua kata yang tidak enak itu bisa saja diabaikan. Juga seharusnya yang membaca saran bisa minta keterangan lebih jauh. Ini namanya komunikasi dua arah dan dilakukan secara sehat.
0 Komentar:
Posting Komentar