Tampilkan postingan dengan label Kajian Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kajian Islam. Tampilkan semua postingan

4 Juli 2016

Hukum Tabarruj

HUKUM TABARRUJ

Makna Tabarruj.

Tabarruj adalah apabila perempuan menampakkan perhiasan atau kecantikannya dan hal-hal yang indah dari dirinya kepada laki-laki yang bukan mahramnya, jadi perempuan yang ber-tabarruj adalah perempuan yang menampakkan wajahnya. Sehingga bila ada perempuan yang menampakkan atau memperlihatkan kecantikan wajah dan lehernya maka dikatakan perempuan itu ber-tabarruj. (Lihat Lisanul Arab Oleh Ibnu Manzhur : 3/33).

Tabarruj adalah perkara haram, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam.

Dan juga kaum muslimin sepakat tentang haramnya Tabarruj sebagaimana yang dinukil oleh Al-’AllamahAsh-Shon’any dalam Hasyiyah Minhatul Ghoffar ‘Ala Dhau`in Nahar 4/2011, 2012. Lihat : kitabHirasyatul Fadhilah hal.92 (cet.ke 7).

Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan tentang haramnya tabarruj :

Satu : Allah Rabbul ‘Izzah berfirman dalam surah Al-Ahzab ayat 33 :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj dengan tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu”.

Berkata Imam Al-Qurtuby tentang ayat ini : “Ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam/tinggal dirumah. Dan sekalipun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam namun secara makna termasuk pula selain dari istri-istri nabi”. (Lihat Tafsir Al-Qurthuby : 14/179 ).

Berkata Mujahid tentang makna “Tabarrujal Jahiliyah” : “Perempuan yang keluar dan berjalan didepan laki-laki maka itulah yang dimaksud dengan “Tabarrujal Jahiliyah”.(Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 3/482 danAhkamul Qur`an Oleh Al-Jashshas : 3/360).

Berkata Muqatil Bin Hayyan tentang makna “Tabarrujal Jahiliyah” : “Tabarruj adalah perempuan yang melepaskan Khimar (tutup kepala) dari kepalanya sehingga terlihat kalung, anting-anting dan lehernya”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 3/482-483).

Dan Qatadah berkata dalam menafsirkan ayat “dan janganlah kamu bertabarruj dengan tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu” : “Perempuan yang berjalan dengan bergoyang dan bergaya. Maka AllahSubhanahu Wa Ta’ala melarang perempuan mealakukan itu”. (Lihat Ahkamul Qur`an Oleh Al-Jashshas : 3/360 dan Fathul Bayan : 7/391).

Adapun makna tabarruj dalam Tafsir Al-Alusi 21/8 yakni : “Perempuan yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya yang seharusnya tidak di nampakkan”.

Sementara Abu Ubaidah dalam menafsirkan makna tabarruj : ” Perempuan yang menampakkan kecantikan yang dapat membangkitkan syahwat laki-laki, maka itulah yang di maksud Tabarruj“. (Lihat :Tafsir Ibnu Katsir : 3/33 ).

Dua : Firman Allah Ta’ala :

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) untuk tabarruj dengan (menampakkan) perhiasan, dan menjaga kehormatan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur : 60)

Maksud dari “tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka”, yaitu pakaian yang zhohir yang menutupi muka dan telapak tangan. Demikian dalam kitab Hirasyatul Fadhilah hal.54 (cet.ke 7).

Kalau para perempuan tua dengan kreteria yang tersebut dalam ayat tidak boleh ber-tabarruj, apalagi para perempuan yang masih muda. Wallahul Musta’an.

Tiga : Firman Allah Jalla wa ‘Ala :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.(QS. An-Nur : 31)

Empat : Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Imam Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسُ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُؤْوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.

“Dua golongan dari penduduk Neraka yang saya belum pernah melihatnya sebelumnya : Kaum yang mempunyai cambuk-cambuk seperti ekor-ekor sapi untuk memukul manusia dengannya dan para perempuan yang berpakaian tapi telanjang berjalan berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk onta, mereka tidaklah masuk sorga dan tidak (pula) menhirup baunya, padahal baunya dihirup dari jarak begini dan begini”.

Berkata Imam An-Nawawy dalam syarah Muslim (14/110) dalam menjelaskan makna “Berpakaian tapi telanjang” yaitu mereka berpakaian tetapi hanya menutup sebagian badannya dan menampakkan sebagian yang lain untuk memperlihatkan kecantikan dirinya ataukah memakai pakaian tipis sehingga menampakkan kulit badannya”.

Dan Syaikh Bin Bazz Rahimahullah dalam Majmu‘ah Ar-Rosa`il Fil Hijab Wa Ash-Shufur hal.52 : “Dalam Hadits ini ada ancaman yang sangat keras bagi yang melakukan perbuatan tabarruj, membuka wajah dan memakai pakaian yang tipis. Ini terbukti dari ancaman Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam terhadap pelakunya bahwa mereka di haramkan masuk surga”.

Tabarruj termasuk Dosa Besar.

Imam Adz-Dzahaby rahimahullah menggolongkan tabarruj termasuk dari dosa-dosa besar, beliau berkata dalam kitab Al-Kaba`ir hal. 146-147 : “Termasuk perbuatan-perbuatan yang menyebabkan terlaknatnya seorang perempuan bila ia menampakkan perhiasan emas dan permata yang berada di bawah cadarnya, memakai wangi-wangian bila keluar rumah dan yang lainnya. Semuanya itu termasuk dari tabarruj yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala membencinya dan membenci pula pelakunya di dunia dan di akhirat. Dan perbuatan inilah yang banyak dilakukan oleh kaum perempuan sehinga Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda tentang para perempuan bahwa : “Aku menengok ke dalam Neraka maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah perempuan”. Dan bersabda Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam :

مَا تَرَكْتُ بِعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.

“Saya tidaklah meninggalkan suatu fitnah setelahku yang paling berbahaya atas kaum lelaki daripada fitnah perempuan”.

Dan dari bahaya fitnah perempuan terhadap laki-laki yakni keluarnya perempuan dari rumah-rumah mereka dalam keadaan ber-tabarruj karena hal itu dapat menjadi sebab bangkitnya syahwat laki-laki dan terkadang hal itu membawa kepada perbuatan yang tidak senonoh. (Lihat : Al-Mufashshol Fii Ahkamil Mar`ah : 3/416).

Dari uraian di atas, telah jelas bahwa tabarruj yang dilarang adalah tabarruj yang dilakukan bila keluar rumah. Adapun bila perempuan tersebut berhias dirumahnya dan menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada suaminya maka hal ini tidak mengapa dan tidak berdosa bahkan agama memerintahkan hal tersebut.

Akibat-Akibat Yang Ditimbulkan Dari Fitnah Ikhtilath dan Tabarruj
Ikhtilath adalah jalan dan sarana yang mengantar kepada segala bentuk perzinahan yakni zina menyentuh, melihat dan mendengar. Dan zina yang paling keji adalah zina kemaluan yang mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengancam pelakunya dalam surah Al-Furqan ayat 68-69 dan surahAl-Isra` ayat 32. (Lihat : Ahkamun Nisa` 4/357).
Ikhtilath dan Tabarruj menyebabkan perkelahian dan peperangan di antara kaum muslimin. Hal ini disebabkan karena dalam ikhtilath terjadi kedengakian dan kebencian serta permusuhan di antara laki-laki karena memperebutkan perempuan atau sebaliknya terjadi kedengkian, kebencian dan permusuhan anatara perempuan karena memperebutkan laki-laki. (Lihat : Ahkamun Nisa` 4/355-357).
Ikhtilath dan Tabarruj menyebabkan perempuan tidak punya harga diri sebab ketika bercampur dengan laki-laki maka perempuan tersebut dapat dipandang dan dilihat oleh laki-laki sekedar untuk dinikmati, ibarat boneka yang hanya dilihat dari kecantikan raut muka dan keindahannya. (LihatMajmu‘ah Ar-Rosa`il Fil Hijab Wa Ash-Shufur oleh Lajnah Da`imah hal. 119).
Ikthilath dan Tabarruj menyebabkan hilangnya rasa malu pada diri perempuan yang mana hal itu adalah ciri keimanan dalam dirinya, karena ketika terjadi ikhtilath dan tabarruj maka perempuan tidak lagi mempunyai rasa malu dalam menampakkan auratnya. (Lihat Risalatul Hijab oleh Syeikh Al-’Utsaimin hal. 65).
Ikhtilath dan Tabarruj menyebabkan ketundukan dan keterikatan pria yang sangat besar terhadap perempuan yang dia kenal dan dilihatnya. Dan hal inilah yang menyebabkan kerusakan besar pada diri laki-laki sampai membawanya kepada perbuatan yang kadang tergolong kedalam kesyirikan. Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

مَا تَرَكْتُ بِعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ.

“Saya tidaklah meninggalkan suatu fitnah setelahku yang paling berbahaya atas kaum lelaki daripada fitnah perempuan”.
Perbuatan ikhtilath dan tabarruj adalah perbuatan yang menyerupai prilaku orang-orang kafir dari Yahudi dan Nashoro karena hal itu adalah kebiasaan-kebiasaan mereka. Sedangkan Rasulullahshollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari golongan mereka”.

Hukum Ikhtilath

HUKUM IKHTILATH

Makna Ikhtilath.

Makna ikhtilath secara bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu yang lain (Lihat : Lisanul ‘Arab 9/161-162).

Adapun maknanya secara syar’iy yaitu percampurbauran antara laki-laki dan perempuan yang tidak hubungan mahram pada tempat. (Lihat : Al-Mufashshol Fii Ahkamil Mar`ah : 3/421 dan Al-Mar`atul Muslimah Baina Ijtihadil Fuqoha` wa Mumarosat Al-Muslimin hal. 111).

Hukum ikhtilath adalah haram berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :

Satu : Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surah Al-Ahzab ayat 33 :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu”.

Berkata Imam Al-Qurthuby dalam menafsirakan ayat ini : “Makna ayat ini adalah perintah untuk tetap berdiam atau tinggal di rumah, walaupun yang diperintah dalam ayat ini adalah para istri Nabi Rasulullahshollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam namun secara makna masuk pula selain dari istri-istri beliau Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam“. (Lihat Tafsirul Qurthuby : 4/179).

Dan Ibnu Katsir berkata tentang makna ayat ini : “Tinggallah kalian di rumah-rumah kalian, janganlah kalian keluar kecuali bila ada keperluan”.

Dua : Firman Allah ‘Azza Wa Jalla dalam surah Al-Isra` ayat 32 :

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا

“Dan janganlah kalian mendekati zina”.

Larangan dalam ayat ini dengan konteks “Jangan kalian mendekati” menunjukkan bahwa Al-Qur`an telah mengharamkan zina begitu pula pendahuluan-pendahuluan yang dapat mengantar kepada perbuatan zina serta sebab-sebabnya secara keseluruhan seperti melihat, ikhtilath, berkhalwat, tabarruj dan lain-lain”. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/39).

Tiga : Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang dikeluarkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-jalannya, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

لَا تَمْنَعُوْا نِسَائَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang para perempuan kalian (untuk menghadiri) mesjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.

Dan dengan lafazh yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Imam Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar pula, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ.

“Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) mesjid-mesjid Allah.

Hadits ini menjelaskan tentang tidak wajibnya perempuan menghadiri sholat jama’ah bersama laki-laki di mesjid, ini berarti boleh bagi perempuan untuk menghadiri sholat jama’ah di mesjid akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka. Dan para ulama fuqaha` sepakat tentang tidak wajibnya hal tersebut. Dan sebagian dari mereka memakruhkan untuk perempuan muda, adapun untuk perempuan yang telah tua maka mereka membolehkannya dan yang rojih adalah hukumnya boleh. (Lihat : Al-Mufashshol Fii Ahkamil Mar`ah: 3/424).

Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim (2/83) : “Ini menunjukkan bolehnya perempuan ke mesjid untuk menghadiri sholat jama’ah, tentunya bila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Diantaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian yang menyolok dan termasuk didalamnya tidak bercampur atau ikhtilath dengan laki-laki yang bukan mahramnya”.

Empat : Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhary, beliau berkata:

اسْتَأْذَنْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ فِي الْجِهَادِ فَقَالَ : جِهَادُكُنَّ الْحَجُّ.

“Saya meminta izin kepada Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam untuk berjihad, maka Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda : Jihad kalian adalah berhaji”.

Berkata Ibnu Baththal dalam Syarahnya sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary(6/75-76) : “Hadits ini menjelaskan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampur bauran antara laki-laki dan perempuan”.

Lima : Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullahshollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّه‍َا أَوَّلُهَا.

“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling awal”.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim : “Bahwa sesungguhnya shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang dan shaf laki-laki yang paling baik adalah yang paling awalnya, hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan shaf laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadiikhtilath dan saling memandang satu dengan yang lainnya”.

Berkata Ash-Shon’any dalam Subulus Salam : “Dalam hadits ini menjelaskan sebab sunnahnya shof perempuan berada di belakang shof laki-laki agar supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam sholat saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath diantara mereka”.

Berkata Asy-Syaukany dalam Nailul Authar (3/189) : “Penyebab kebaikan shof perempuan berada di belakang shof laki-laki adalah karena tidak terjadi iktilath antara mereka”.

Enam : Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori, beliau berkata :

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّيْ الصُّبْحَ بِغَلَسٍ فَيَنْصَرِفْنَ نِسَاءُ الْمُؤْمِنِيْنَ لَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ أَوْ لَا يَعْرِفُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا.

“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam sholat Shubuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenal sebagian yang lain”.

Hadits ini menjelaskan di sunnahkannya bagi perempuan keluar dari mesjid lebih dahulu daripada laki-laki ketika selesai shalat jama’ah, agar supaya tidak terjadi ikhtilath, saling pandang memandang atau hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari’at.

Hal serupa dijelaskan pula dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha riwayat Imam Bukhary, beliau berkata :

أَنَّ النِّسَاءَ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ كُنَّ إِذَا سَلَّمْنَ مِنَ الْمَكْتُوْبَةِ قُمْنَ وَثَبَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَمَنْ صَلَّى مِنَ الرِّجَالِ مَا شَاءَ اللهُ فَإِذَا قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ قَامَ الرِّجَالُ.

“Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bila mereka salam dari sholat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam dan orang yang sholat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam berdiri maka para lelaki juga berdiri”.

Berkata Asy-Syaukany dalam Nailul Authar (2/315) : “Dalam hadits ini terdapat hal yang menjelaskan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi dalam suatu tempat”.

Berkata Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (2/560) : “Jika dalam jama’ah sholat terdapat laki-laki dan perempuan maka di sunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini dapat membawa pada ikhtilath“.

Tujuh : Hadits Jabir Bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma riwayat Imam Bukhari, beliau berkata :

قَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ ثُمَّ خَطَبَ فَلَمَّا فَرَغَ نَزَلَ فَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ.

“Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam berdiri pada hari Idul Fitri untuk Sholat maka beliaupun memulai dengan sholat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun lalu mendatangi para perempuan kemudian memperingati (baca : menasehati) mereka”.

Berkata Al-Hafizh dalam Al-Fath (2/466) : “Perkataan “kemudian beliau mendatangi para perempuan”menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dari tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath“.

Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim (2/535) : “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri sholat jama’ah dimana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh laki-laki maka tempat perempuan berisah dari tempat laki-laki hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara”.

Beberapa Masalah Seputar Ikhtilath
Hukum belajar di sekolah-sekolah dan universitas yang terjadi ikhtilath di dalamnya.

Berkata syaikh Ibnu Jibrin sebagaimana dalam Fatawa Fii An-Nazhor Wal Khalwat Wal Ikhtilath hal.23 : “Kami menasehatkan pada seorang muslim yang ingin menyelamatkan dan menjauhkan dirinya dari sebab-sebab kerusakan dan fitnah, tidak ada keraguan bahwa sesungguhnya ikhtilath di sekolah-sekolah adalah penyebab terjadinya kerusakan dan pengantar terjadinya perzinahan”.

Berkata Syaikh Al Utsaimin sebagaimana dalam kitab yang sama hal.26 : “Pendapat saya, sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang baik laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi ikhtilath di dalamnya, disebabkan karena bahaya besar akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimanapun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimanapun bila disamping kursinya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuannya cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangat sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram”.

Berkata Syaikh Ibnu Bazz sebagaimana dalam kitab yang sama pula hal.10 : “Barang siapa yang mengatakan boleh Ikhtilath di sekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk istri-istri Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam maka perkataan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur`an dan Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :

ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka”.

Dan juga kita ketahui bahwa Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam diutus oleh AllahSubhanahu Wa Ta’ala untuk seluruh manusia tanpa kecuali, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua”.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan”.

Dan para sahabat yang mereka adalah sebaik-baik manusia dalam keimanan dan takwa dan sebaik-baik zaman, di masanya ternyata masih di perintahkan untuk berhijab demi kesucian hati-hati mereka, maka tentu orang-orang yang setelah mereka lebih membutuhkan dan lebih harus berhijab untuk mensucikan hati-hati mereka karena mereka berada pada zaman fitnah dan kerusakan”.
Hukum bekerja ditempat yang terjadi Ikhtilath di dalamnya.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin sebagaimana dalam Fatawa Fii An-Nazhor Wal Khalwat Wal Ikhtilathal.44 : “Pendapat saya, yakni tidak boleh Ikhtilath antara laki-laki dan perempuan baik di instansi negeri maupun swasta, karena ikhtilath adalah penyebab terjadinya banyak kerusakan”.

Berkata para Ulama yang tergolong dalam LAJNAH DAIMAH : “Adapun hukum bekerja di tempat yang (terdapat) ikhtilath adalah haram karena ikhtilath adalah penyebab kerusakan yang terjadi pada manusia”.

Berkata Syaikh Ibnu Bazz rahimahullah dalam kitab Musyarakatul Mar`ah Lir Rijal Fii Midan ‘Amalhal.7 : “Bekerjanya perempuan di tempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara penyebab besar munculnya kerusakan adalah disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan terjadinya perzinahan”.

Hukum Khalwat menurut Islam

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam dengan membawa petunjuk dan agama yang lurus untuk mengeluarkan manusia dari keadaan yang gelap gulita kepada keadaan yang penuh dengan cahaya yang terang benderang. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus Nabi-Nya sebagai penyeru dan penyempurna akhlaq yang mulia. Dan tidak diragukan lagi bahwa di antara akhlaq yang mulia adalah adanya rasa malu, yang mana Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallammengatakan bahwa malu adalah termasuk dari cabang keimanan.

Dan secara umum kehidupan seorang muslim dan muslimah yang berpegang teguh kepada agamanya adalah kehidupan yang dibangun diatas dasar ibadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, menjaga kemulian dan ghirah dan menjaga rasa malu.

Namum sangatlah disayangkan bahwa prinsip kehidupan tersebut banyak dilupakan atau tidak disadari oleh banyak perempuan muslimah saat ini. Corak pergaulan dan pakaian banyak perempuan saat ini adalah bentuk dari gaya jahiliyah yang dicontoh dari negeri kafir sehingga banyak dari perempuan sama sekali tidak menunjukkan ciri seorang perempuan muslimah yang penuh adab dan akhlak yang mulia dengan pakaian yang mencocoki syari’at dan menggambarkan rasa malu serta menjaga aurat sebagai hiasan perempuan sholihah yang merupakan dambaan setiap insan.

Dan yang lebih mengerikan lagi, ternyata fitnah perempuan pada zaman ini telah menimbulkan berbagai macam kerusakan, dan telah menyebabkan tersebarnya berbagai bentuk kekejian dan kemungkaran. Maka wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk saling nasehat-menasehati dan saling berwasiat dalam kebenaran untuk menjaga diri kita semua dari jurang api neraka. A’adzanallahu wa iyyaka minannar.

Berikut ini uraian tiga permasalahan diatas dengan harapan bisa mengokohkan perempuan mukminah diatas kemulian dan kehormatan dan untuk merontokkan segala slogan dan seruan para pengekor syahwat dan syaithon yang ingin menjatuhkan mereka dalam jurang kehinaan dan kenistaan. Wallahul Muwaffiq.

HUKUM KHALWAT

Pengertian Khalwat

Khalwat adalah seorang laki-laki berada bersama perempuan yang bukan mahramnya dan tidak ada orang ketiga bersamanya. (Lihat Al-Mar`atul Muslimah Baina Ijtihadil Fuqoha` wa Mumarosat Al-Muslimin hal. 111).

Khalwat adalah perkara yang diharamkan dalam agama ini, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil – dalil.

Diantara dalil-dali itu adalah sebagai berikut :

Satu : Hadits ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim, Rasulullahshollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ.

“Hati-hati kalian terhadap masuk (bertemu) dengan para perempuan. Maka berkata seorang lelaki dari Anshar : “Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu dengan Al-Hamwu. Beliau berkata : “Al-Hamwu adalah maut”.

Imam Muslim mengeluarkan dengan sanad yang shohih dari Al-Lais bin Sa’ad Ahli Fiqh negeri Mesirrahimahullah, Beliau berkata : “Al–Hamwu adalah saudara laki-laki suami dan yang serupa dengannya dari kerabat sang suami ; Anak paman dan yang semisalnya”.

Berkata Imam Nawawi : “Sepakat ahli bahasa bahwa makna Al–Hamwu adalah kerabat suami sang istri seperti bapaknya, Ibunya, saudara laki-lakinya, anak saudara laki-lakinya, anak pamannya dan yang semisalnya”.

Kemudian Imam An-Nawawy berkata : “Dan yang diinginkan dengan Al-Hamwu disini (dalam hadits diatas,-pent.) adalah kerabat suami selain bapak-bapaknya dan anak-anaknya. Adapun bapak-bapak dan anak-anaknya, mereka adalah mahram bagi istrinya, boleh bagi mereka ber-khalwat dengannya dan tidaklah mereka disifatkan sebagai maut”. Baca : Syarah Shohih Muslim 14/154.

Adapun sabda Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam : “Al-Hamwu adalah maut”, ada beberapa penjelasan dari para ‘ulama tentang maksudnya :
Maksudnya bahwa ber-khalwat dengan Al-Hamwu akan mengantar kepada kehancuran agama seseorang yaitu dengan terjatuhnya kedalam maksiat, atau mengantar kepada mati itu sendiri yaitu apabila ia melakukan maksiat dan mengakibatkan ia dihukm rajam, atau bisa kehancuran bagi perempuan itu sendiri yaitu ia akan diceraikan oleh suaminya bila sebab kecemburaannya.
Berkata Ath-Thobary : “Maknanya adalah seorang lelaki ber-khalwat dengan istri saudara laki-lakinya atau (istri) anak saudara laki-lakinya kedudukannya seperti kedudukan maut dan orang arab mensifatkan sesuatu yang tidak baik dengan maut”.
Ibnul ‘A’raby menerangkan bahwa orang arab kalau berkata : “Singa adalah maut” artinya berjumpa dengan singa adalah maut yaitu hati-hatilah kalian dari singa sebagaimana kalian hati-hati dari maut.
Berkata pengarang Majma’ Al-Ghora`ib : “Yaitu tidak boleh seorangpun ber-khalwat dengannya kecuali maut”.
Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh : “Maknanya bahwa ber-khalwat dengan Al-Hamwu adalah pengantar kepada fitnah dan kebinasaan”.
Berkata Al-Qurthuby : “Maknanya bahwa masuknya kerabat suami (bertemu) dengan istrinya menyerupai maut dalam jeleknya dan rusaknya yaitu hal tersebut diharamkan (dan) dimaklumi pengharamannya”.

Lihat : Fathul Bary 9/332 karya Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Syarah Shohih Muslim karya Imam An-Nawawy 14/154.

Dua : Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Bukhary, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam berkata :

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ امْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً وَاكْتُتِبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا قَالَ ارْجِعْ فَحَجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ.

“Janganlah seorang laki-laki ber-khalwat dengan perempuan kecuali bersama mahramnya. Maka berdirilah seorang lelaki lalu berkata : “Wahai Rasulullah, istriku keluar untuk haji dan saya telah terdaftar di perang ini dan ini”. Beliau berkata : “Kembalilah engkau, kemudian berhajilah bersama istrimu”.

Berkata Al – hafidz Ibnu Hajar dalam Fathur bari (4/ 32 – 87) : “Hadist ini menunjukkan pengharaman khalawat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tidak semahram, dan hal ini disepakati oleh para ‘ulama dan tidak ada khilaf didalamnya”.

Tiga : Nabi shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ.

“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan perempuan karena yang ketiga bersama mereka adalah syeitan”. (Dishohihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 430).

Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny 9/490 setelah tentang disyari’atkannya melihat kepada perempuan yang dipinang, beliau menjelaskan beberapa hukum yang berkaitan dengannya, diantaranya beliau berkata : “Dan tidak boleh ber-khalwat dengannya karena khalwat adalah haram dan tidak ada dalam syari’at (pembolehan) selain dari melihat karena dengan khalwat itu tidak ada jaminan tidak terjatuh ke dalam hal yang terlarang”.

Empat : Hadist Jabir yang dikeluarkan oleh Imam Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :

أَلَا لَا يَبِيْتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ.

“Janganlah seorang laki-laki bermalam di tempat seorang janda kecuali ia telah menjadi suaminya atau sebagai mahramnya”.

Imam An-Nawawi berkata dalam Syarah Shohih Muslim (14/153) : “Hadits ini dan hadits-hadits setelahnya (menunjukkan) haramnya ber-khalwat dengan perempuan ajnabiyah (bukan mahram) dan (menunjukkan) bolehnya ber-khalwat dengan siapa yang merupakan mahramnya. Dan dua perkara ini disepakai (dikalangan para ‘ulama,-pent.)”.

Dan perlu diketahui bahwa pengharaman khalawat tersebut adalah berlaku umum, baik itu dirumah maupun diluar rumah serta tempat yang lainnya. Lihat Al-Mufashshol Fii Ahkamil Mar`ah (3/ 422).

Lima : Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alahi wa ‘ala alihi wa sallambersabda :

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ.

“Perempuan itu adalah aurat, kalau dia keluar maka dibuat agung/indah oleh syeitan”. (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan lain-lainnya dan dishohihkan oleh Syeikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih).

26 Juni 2016

Puasa Sunnah 6 Hari Pada Bulan Syawal

Sahabat dunia islam, setelah kita melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan, kini telah datang bulan syawal. selain puasa wajib di bulan Ramadhan, kaum muslim pun diperintahkan untuk menjalankan ibadah puasa sunah 6 hari di bulan Syawal.

Pada dasarnya Puasa sunah ini memiliki banyak keutamaan,sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Qudsi, Allah Swt berfirman:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (قال الله عز وجل: كل عمل ابن آدم له إلا الصيام؛ فإنه لي وأنا أجزي به، والصيام جنّة، وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث، ولا يصخب، فإن سابّه أحد أو قاتله فليقل: إني امرؤ صائم، والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك، للصائم فرحتان يفرحهما: إذا أفطر فرح، وإذا لقي ربه فرح بصومه) رواه ومسلم

“Setiap amal manusia adalah untuk dirinya kecuali puasa, ia (puasa) adalah untuk-Ku dan Aku memberi ganjaran dengan (amalan puasa itu).” Kemudian, Rasulullah melanjutkan, “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dibandingkan wangi minyak kasturi .

Dalam konteks Keutamaan Puasa sunah 6 Hari di Bulan Syawal seperti judul artikel di atas maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim ).

Seperti di kutip dari DR KH Ahmad Mukri Aji Pengasuh Ponpes Modern Darunna’im YAPIA Parung Bogor,salah satu keutamaan Puasa juga merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka.

Rasulullah Saw. bersabda: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai.”(HR. Tirmidzi).

Seorang hamba Allah yang shaleh akan senantiasa melakukan kebaikan-kebaikan dengan melakukan amalan-amalah sunnah sehingga Allah mencintainya. “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu, untuk mendapatkan kecintaan Allah ta’ala, maka diajurkan puasa sunnah setelah melakukan yang wajib. Di antara puasa sunnah yang Nabi Saw. anjurkan setelah melakukan puasa wajib (puasa Ramadhan) adalah puasa enam hari di bulan Syawal.

Karena dengan berpuasa syawal, maka seorang hamba Allah seakan telah melakukan puasa setahun penuh. “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim).

Secara rasional, hitungan setahun ini berasal dari kebaikan yang dilakukan seorang hamba Allah. Apabila melakukan satu kebaikan maka akan dibalas sepuluh kebaikan yang semisal. “Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al An’am: 160).

Puasa Ramadhan selama sebulan berarti akan semisal dengan puasa 10 bulan. Puasa Syawal adalah enam hari berarti semisal dengan 60 hari yang sama dengan 2 bulan. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan syawal akan mendapatkan puasa seperti setahun penuh. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56 dan Syarh Riyadhus Sholihin, 3/465).

Ketika seorang hamba Allah di setiap tahun dari hidupnya selalu diisi dengan puasa Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan puasa sunnah di bulan Syawal, maka sepanjang tahun seolah telah melakukan amalan-amalan kebaikan dari puasa. Seorang hamba yang yang dicintai Allah Swt. hanyalah orang-orang yang melakukan amalan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bila hal ini telah dilakukan, maka Allah Swt. akan senantiasa mencintainya.

Allah SWT berfirman dalam Hadis Qudsi, “Tiada yang paling Aku sukai dari hamba-Ku selain mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan apa yang Aku wajibkan padanya.

Apabila hamba-Ku mendekat pada-Ku dengan senantiasa melakukan hal-hal yang sunnah maka Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi matanya yang ia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang ia gunakan untuk mengambil (bertindak) dan Aku menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan, jika ia meminta pada-Ku, pastilah Aku beri, dan jika ia memohon perlindungan, pastilah Aku melindunginya.” (HR. Bukhari).

Subhanallah Alangkah berkahnya hidup seorang hamba, bila senantiasa dicintai Penciptanya. Karena hidupnya senantiasa dihiasi dengan pahala dari amalan kebaikan yang diwajibkan dan yang disunahkan oleh Allah Swt.

Ada beberapa Tata Cara Pelaksanaan Puasa Syawal sebagai berikut :

Pertama, Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari secara berurutan mau pun tidak seperti di kerjakan pada hari senin dan kamis saja tentu itu tidak masalah, yang penting masih di bulan syawal

Kedua, Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fitri

Hukum berpuasa enam hari di bulan Syawal adalah sunah yang boleh dilaksanakan mulai tanggal dua Syawal. Apabila melaksanakan puasa sunah Enam hari ini pada tanggal satu Syawal maka hukumnya tidak sah dan haram. Dalam hadits disebutkan, dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata,

عن عمر بن الخطاب وأبي هريرة وأبي سعيد رضي الله عنهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن صوم يوم الفطر ويوم الأضحى

“Nabi Muhammad Saw., melarang berpuasa pada dua hari raya; idul fitri dan idul adha.(maksudnya tanggal satu Syawal atau sepuluh bulan Dzulhijjah .

Ketiga, Di utamakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu pada saat puasa Ramadhan yang di tinggalkan agar mendapatkan ganjaran puasa Syawal yaitu puasa setahun penuh seperti pendapat madhab Maliki dan Syafi’i

Semoga kita di beri kesehatan agar bisa melaksanakan puasa sunah 6 hari di bulan Syawal. amin

S

Birrul Walidain

Sahabat dunia islam, Terkadang sebagian kita beranggapan bahwa kewajiban berbakti kepada kedua orang tua telah usai ketika orang tua telah wafat. Jika memang demikian, alangkah bakhilnya diri kita. Alangkah singkatnya bakti kita kepada orang tua yang telah mengasuh kita dengan penuh kasih sayang, yang telah mengorbankan siang dan malamnya untuk kebahagiaan sang anak. Seseorang yang telah mengucurkan banyak air mata dan keringat untuk kebaikan sang anak. Lantas, apakah balas budi kepada mereka akan berakhir seiring berakhirnya kehidupan mereka??

Sahabat dunia islam ketahuilah, bahwa saat setelah wafat adalah saat di mana kedua orang tua paling membutuhkan bakti anak-anaknya, yaitu ketika mereka telah memasuki alam barzah. Mereka sangat membutuhkan doa yang baik dan permohonan ampun melalui seorang anak untuk mengangkat kedua telapak tangannya kepada Allah Ta’ala.

Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah masih tersisa sesuatu sebagai baktiku kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?” Beliau bersabda, “Ya, engkau mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji keduanya, memuliakan teman keduanya, dan silaturahmi yang tidak tersambung kecuali dengan keduanya.” (HR. Al-Hakim)

Begitulah, bakti seorang anak kepada kedua orang tua senantiasa menjadi utang manusia selama ruh masih berada pada jasadnya, selama jantung masih berdetak, selama nadi masih berdenyut, dan selama napas masih berembus. Oleh karena itu, sangat keliru jika ada orang yang beranggapan bahwa baktinya telah usai ketika orang tua telah wafat. Bakti seorang anak kepada orang tua senantiasa menjadi hutang yang harus ditunaikan sampai ia bertemu dengan Allah Ta’ala. Mereka sangat membutuhkan doa yang tulus serta permohonan ampun sehingga mereka mendapatkan limpahan rahmat dan ampunan dari Allah karenanya.

“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di surga. Lantas ia bertanya, ‘Wahai Rabb, mengapa aku mendapatkan ini?’ Allah menjawab, ‘Karena permohonan ampunan anakmu untukmu.’” (HR. Ahmad)

Dalam hadist yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Apabila seorang anak Adam meninggal dunia maka amalnya terputus, kecuali tiga perkara: … ,anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Faedah Keutamaan Berbakti kepada Kedua Orang Tua

Berbakti kepada kedua orang tua membuahkan banyak keutamaan. Berikut ini beberapa Keutamaanberbakti kepada kedua orang tua:
Dikabulkannya doa (sebagaimana kisah yang telah disebutkan).
Sebab dihapuskannya dosa besar.
Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaih wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan dosa besar. Apakah ada taubat untukku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang ibu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki seorang bibi?” Ia menjawab, “Ya. “ Nabi bersabda, “Berbaktilah kepadanya.” (HR. Ibnu Hibban)
Berbakti kepada kedua orang tua merupakan penyebab keberkahan dan bertambahnya rezeki.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan ditambahkan rezekinya, hendaklah ia berbakti kepada kedua orang tuanya dan hendaklah ia menyambung silaturahmi.” (HR. Ahmad)
Barangsiapa yang berbakti kepada bapak ibunya maka anak-anaknya akan berbakti kepadanya, dan barangsiapa yang durhaka kepada keduanya maka anak-anaknya pun akan durhaka pula kepadanya.
Tsabit Al-Banany mengatakan, “Aku melihat seseorang memukul bapaknya di suatu tempat. Maka dikatakan kepadanya, ‘Apa-apaan ini?’ Sang ayah berkata, ‘Biarkanlah dia. Sesungguhnya dulu aku memukul ayahku pada bagian ini maka aku diuji Allah dengan anakku sendiri, ia memukulku pada bagian ini. Berbaktilah kalian kepada orang tua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakt kepada kalian.’”
Ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua, murka Allah pada murka orang tua.
Diterimanya amal.
Sesorang yang berbakti kepada kedua orang tua maka amalnya akan diterima. Diterimanya amal akan mendatangkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Ibnu Umarradhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Kalau aku tahu bahwasanya aku punya shalat yang diterima, pasti aku bersandar kepada hal itu. Barangsiapa yang berbakti kepada kedua orang tuanya, sesungguhnya Allah menerima amalnya.”

Sahabat dunia islam renungkanlah keutamaan-keutamaan di atas. Sesungguhnya berbakti kepada orang tua merupakan salah satu sebab dihapuskannya dosa besar, diterimanya amal, serta sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat. Setelah kita melihat keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, pahala yang dijanjikan, serta kisah-kisah generasi pendahulu yang saleh, masih adakah penghalang bagi kita untuk menaati kedua orang tua?*

Wa Laa Taqrabuz Zina

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan Janganlah Kalian Mendekati Zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra [17]: 32).

sahabat dunia islam, Ahli tafsir Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini, bahwa Allah berfirman dalam rangka melarang hamba-hamba-Nya dari perbuatan zina dan larangan mendekatinya, yaitu larangan mendekati sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya.

Larangan mendekati zina di sini, dikatakan oleh Syaikh As-Sa’di rahimahullah lebih mengena ketimbang larangan melakukan perbuatan zina. Karena larangan mendekati zina mencakup larangan terhadap semua perkara yang dapat mengantarkan kepada perbuatan zina tersebut.

Maka, barangsiapa yang mendekati daerah larangan, ia dikhawatirkan akan terjerumus kepadanya, terlebih lagi dalam masalah zina yang kebanyakan hawa nafsu sangat kuat dorongannya untuk melakukan zina.

Sebabnya adalah seperti di ujung ayat, bahwa sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji atau dosa besar.

Disebut perbuatan keji, kata Syaikh As-Sa’di, karena perbuatan ini dapat merusak akal sehat dan fitrah manusia yang suci. Hal ini dikarenakan perbuatan zina mengandung unsur melampaui batas terhadap hak Allah dan melampaui batas terhadap kehormatan wanita dan keluarganya.

Di samping itu, perbuatan zina juga mengandung kerusakan moral, tidak jelasnya nasab (keturunan), dan kerusakan-kerusakan yang lainnya yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.

Imam Ath-Thabari rahimahullah menambahkan, bahwa zina merupakan sejelek-jelek jalan, karena zina adalah jalannya orang-orang yang suka bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan melanggar perintah-Nya. Maka jadilah ia sejelek-jelek jalan yang menyeret pelakunya ke dalam neraka Jahannam.”

Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan tentang akibat perbuatan zina. Bahwasanya perbuatan tersebut adalah sejelek-jelek jalan, karena yang demikian itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan, kehinaan, dan kerendahan di dunia serta mengantarkan kepada adzab dan kehinaan di akhirat.


Penyebab Terjadinya Zina

Sungguh indah dan selamat serta menyelamatkan syariat Islam jika diamalkan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Terutama sekali dalam masalah perbuatan zina ini. Sehingga Allah mencegahnya (preventif) demi menjaga kebaikan semuanya.

Langkah preventif berupa mencegah adanya perantara-perantara yang dapat mengakibatkan perbuatan zina.

Islam sebagai agama kasih sayang, berusaha menutup semua celah yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kejelekan dan kebinasaan.

Adapun yang penyebab yang mengantarkan kepada zina di antaranya adalah:

Pertama, memandang wanita yang tidak halal baginya.

Penglihatan adalah nikmat Allah, yang sejatinya wajib disyukuri hamba-hambanya dengan menggunakannya untuk kebaikan.

Allah menegur di dalam ayat:

وَٱللَّهُ أَخۡرَجَكُم مِّنۢ بُطُونِ أُمَّهَـٰتِكُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ شَيۡـًٔ۬ا وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡأَبۡصَـٰرَ وَٱلۡأَفۡـِٔدَةَ‌ۙ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS An-Nahl [16]: 78).

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya, malah digunakannya indera karunia ilahi itu untuk bermaksiat kepada Allah, dengan melihat wanita-wanita yang tidak halal baginya. Terlebih di era dunia maya saat ini, melihat aurat wanita baik di media elektronik maupun majalah. Bahkan tinggal klik di handpohone pun dapat menikmatinya.

Demikian sebaliknya, wanita-wanita pun hendaknya menjaga matanya dari melihat laki-laki yang bukan mahramnya.

Karena itulah, sekali lagi dalm rangka pencegahan, maka Allah pun menyebut di dalam ayat:

Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (30) Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang [biasa] nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan [terhadap wanita] atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS An-Nur [24]: 30-31).

Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Termasuk menjaga kemaluan untuk menjaganya dari: zina, homosex, lesbian dan sejenisnya.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ini adalah perintah Allah subhanahu wata’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dari apa yang diharamkan. Maka janganlah mereka memandang kecuali kepada apa yang diperbolehkan untuk dipandangnya. Dan agar mereka menjaga pandangannnya dari perkara yang diharamkan. Jika kebetulan pandangannya memandang perkara yang diharamkan tanpa disengaja, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya”.

Kalaupun yang diperbolehkan, adalah saat ta’aruf hendak lamaran (khitbah), di mana pihak laki-laki boleh melihat wajah wanita yang ingin dijadikan sebagai calon isterinya. Itupun harus disertai dengan walinya.

Kedua, menyentuh wanita yang bukan mahramnya

Menyentuh wanita yang bukan mahram dianggap sebagai perkara yang biasa dan lumrah di tengah masarakat abad modern saat ini. Berjabat tangan, bersentuhan hingga berpegangan, bergandengan tangan dianggap lumrah. Bahkan nggak modern jika berjauhan.

Padahal dari suatu sentuhan antar-kulit inilah, syaitan terus melekatkannya hingga sampai pada perbuatan zina. Na’udzubillaah.

Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengecam keras dan menggambarkannya lebih baik tertusuk jarum besi, dalam sabdanya:

لأَنْ يَطْعَنَ فيِ رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

Artinya: “Seorang ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi adalah lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR Ath-Thabarani).

Begitulah, zinanya mata memandang, zinanya lidah berbicara, zinanya tangan berpegangan, sementara zinanya hati berangan-angan dan kemaluannya membenarkannya. Seperti disebutkan di dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Artinya: “Ditetapkan atas anak cucu Adam bagiannya dari zina akan diperoleh hal itu tidak mustahil. Kedua mata zinanya adalah memandang (yang haram). Kedua telinga zinanya adalah mendengarkan (yang haram). Lisan zinanya adalah berbicara (yang haram). Tangan zinanya adalah memegang (yang haram). Kaki zinanya adalah melangkah (kepada yang diharamkan). Sementara hati berkeinginan dan berangan-angan, sedang kemaluan yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR Muslim).

Ketiga, berkhalwat (berduaan) 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memperingatkan dalam haditsnya:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Artinya: “Tidaklah seorang lelaki berduaan dengan seorang wanita (yang bukan mahram) kecuali yang ketiganya adalah syaitan.” (HR At-Tirmidzi dan Ahmad).

Termasuk berkhalwat (yang dilarang) adalah berkhalwat dengan sopir, seperti diuraikan di dalam Syarah Hadits Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Yakni jika seseorang mempunyai sopir pribadi atau berboncengan berduaan, sementara dia mempunyai isteri atau anak perempuan, tidak boleh baginya membiarkan isteri atau anak perempuannya pergi berduaan bersama si sopir, atau berboncengan, kecuali jika disertai mahramnya.

Apalagi kemudian atas nama pacaran, perkenalan, saling pendekatan, semua cara menuju zina akhirnya dilalauinya. Momen-momen akhir tahun, tahun baru, ulang tahun, hari valentin, malam minggu malam panjang, dan aneka lainnya dijadikan alasan untuk berteman dengan syaitan sang penggoda. Lalu, terjerembablah ke dalam jurang nista lagi hina. Astaghfirullaah.

Begitulah, perantara-perantara zina yang patut dihindari sebagai seorang Muslim dan Muslimah, agar tidak terhina di sisi Allah, serta agar kita tetap terjaga sebagai Muslim dan hamba Allah sesuai fitrahnya. Aamiin. (9/2/16)*

Sumber : mirajnews.com

Ini Dia Salah Satu Ciri Muslim Yang Baik

Mukmin atau muslim yang baik tidak akan berkata keji, kotor, melaknat, mencela. Muslim sejati akan berbicara sopan, santun, tidak menyakiti hati orang lain, dan selalu mengenakkan dalam berbicara atau berkomentar.

JIKA kita rajin membaca komentar di Facebook atau situs berita, maka akan kita temukan banyak sekali orang yang berkomentar dengan kasar, kotor, jorok, cabul, menghujat, mencaci-maki, dan sebagainya, seakan-akan merekalah yang paling benar.

Komentar di media online atau media sosial memang gampang. Semua orang berani berkomentar apa saja, terutama mereka yang menggunakan nama, akun, atau identitas palsu. Identitas palsu atau “ngumpet” di internet itulah yang menjadikan semua orang merasa leluasa berbicara dan berekspresi.

Lain halnya di dunia nyata. Sedikit sekali orang yang berkomentar “seberani” di internet.

Di sisi lain, kita prihatin, banyaknya komentar kasar, jorok, keji, mengumpan, mencela dan sebagainya itu, juga menunjukkan “jati diri” bangsa Indonesia yang “katanya” ramah dan santun. Kita jadi ragu, benarkah bangsa Indonesia ramah? Tapi mengapa komentar bereka banyak yang keji, seolah-olah mereka tidak berpendidikan dan “tidak beradab” (uncivilized)?

Jika yang suka komentar kotor, jeji, kasar, mengumpat, mencela, dsb itu adalah orang beriman (mukmin/muslim), maka jelas mereka bukan muslim yang baik. Kita harus ingatkan. Walaupun kita mengkritik terhadap perbuatan yang buruk tetapi dalam berkomentar atau menegur sebaiknya dengan kata-kata yang baik bukan dengan kata kotor dll.

Kaum Muslim dididik dengan ajaran agama yang benar dan lurus. Islam itu rahmatan lil’alamin (menebar kasih sayang terhadap sesama) dan mengutamakan akhlak mulia (akhlaqul karimah).

Mukmin atau muslim yang baik tidak akan berkata keji, kotor, melaknat, mencela, dan sebagainya yang buruk-buruk. Muslim sejati akan berbicara sopan, santun, tidak menyakiti hati orang lain, dan selalu mengenakkan dalam berbicara atau berkomentar.

Muslim yang baik itu bersikap “dewasa”, tidak emosional, tidak suka menghujat, sabar, tenang, hatinya penuh dengan dzikir, hatinya bersih, cool, calm, dan anti-kekerasan.

Melalui Rasulullah Saw, ajaran Islam mengajarkan kepada setiap kaum mukmin agar berkata yang baik saja atau diam. Qul khoiron auliyashmut. Berkata yang baik atau diam.

Rasulullah Saw juga menegaskan, orang beriman itu tidak suka mencela, melaknat, berkata-kata keji dan berbicara kotor.

لَيْسَ اْلمـُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَ لَا اللَّعَّانِ وَ لَا اْلفَاحِشِ وَ لَا اْلبَذِيِّ

“Bukanlah seorang mukmin orang yang suka mencela, orang yang gemar melaknat, orang yang suka berbuat/berkata-kata keji, dan orang yang berkata-kata kotor/jorok” (HR Bukhori, Ahmad, Al-Hakim, dan Turmudziy dari Ibnu Mas’ud).

Hadits shahih yang termaktub dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Sunan at-Turmudziy, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir, dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah itu menegaskan jati diri dan perangai mulia kaum mukmin sejati.

Tegasnya, Muslim yang Baik Tidak Akan Berkata Kasar & Kotor, termasuk dalam berkomentar di media online atau media sosial, sekalipun identitasnya disembunyikan atau “palsu”.

Semoga kita diberi kekuatan untuk menjadi Muslim yang Baik, taat perintah Allah dan Rasul-Nya, termasuk tidak berkata kasar, kotor, keji, mengumpat, dan sebagainya. Amin! (risalahislam.com).*

Jadi Orang Yang Bermanfaat? Baguskah?

“Sebaik Baik Manusia Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain”

Sahabat dunia islam, salam sejahtera untuk kita semua semoga Allah SWT memberikan selalu keberkahan untuk kita semua. Sebagai manusia yang hidup dalam bermasyarakat tentu kita selalu bersinggungan dengan orang lain. Menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain merupakan perkara yang sangat dianjurkan oleh agama. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ

“Sebaik Baik Manusia Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain”

Hadist di atas menunjukan bahwa Rasullullah menganjurkan umat islam selalau berbuat baik terhadap orang lain dan mahluk yang lain. Hal ini menjadi indikator bagaimana menjadi mukmin yang sebenarnya. Eksistensi manusia sebenarnya ditentukan oleh kemanfataannya pada yang lain. Adakah dia berguna bagi orang lain, atau malah sebaliknya menjadi parasit buat yang lainnya.

Setiap perbuatan maka akan kembali kepada orang yang berbuat. Seperti kita Memberikan manfaat kepada orang lain, maka manfaatnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri dan juga sebaliknya. Allah Jalla wa ‘Alaa berfirman:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ

“Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7)

Tentu saja manfaat dalam hadits ini sangat luas. Manfaat yang dimaksud bukan sekedar manfaat materi, yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pemberian harta atau kekayaan dengan jumlah tertentu kepada orang lain. Manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain bisa berupa :

Pertama Ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum/dunia;
Manusia bisa memberikan kemanfaatan kepada orang lain dengan ilmu yang dimilikinya. Baik itu ilmu agama maupun ilmu umum. Bahkan, seseorang yang memiliki ilmu agama kemudian diajarkannya kepada orang lain dan membawa kemanfaatan bagi orang tersebut dengan datangnya hidayah kepada-Nya, maka ini adalah keberuntungan yang sangat besar, lebih besar dari unta merah yang menjadi simbol kekayaan orang Arab.

Ilmu umum yang diajarkan kepada orang lain juga merupakan bentuk kemanfaatan tersendiri. Terlebih jika dengan ilmu itu orang lain mendapatkan life skill (keterampilan hidup), lalu dengan life skill itu ia mendapatkan nafkah untuk sarana ibadah dan menafkahi keluarganya, lalu nafkah itu juga anaknya bisa sekolah, dari sekolahnya si anak bisa bekerja, menghidupi keluarganya, dan seterusnya, maka ilmu itu menjadi pahala jariyah baginya.


“Jika seseorang meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu
yang manfaat, dan anak shalih yang mendoakan orang tuanya” (HR. Muslim)



Kedua Materi (Harta/Kekayaan)

Manusia juga bisa memberikan manfaat kepada sesamanya dengan harta/kekayaan yang ia punya. Bentuknya bisa bermacam-macam. Secara umum mengeluarkan harta di jalan Allah itu disebut infaq. Infaq yang wajib adalah zakat. Dan yang sunnah biasa disebut shodaqah. Memberikan kemanfaatan harta juga bisa dengan pemberian hadiah kepada orang lain. Tentu, yang nilai kemanfaatannya lebih besar adalah yang pemberian kepada orang yang paling membutuhkan.

Ketiga Tenaga/Keahlian

Bentuk kemanfaatan berikutnya adalah tenaga. Manusia bisa memberikan kemanfaatan kepada orang lain dengan tenaga yang ia miliki. Misalnya jika ada perbaikan jalan kampung, kita bias memberikan kemanfaatan dengan ikut bergotong royong. Ketika ada pembangunan masjid kita bisa membantu dengan tenaga kita juga. Saat ada tetangga yang kesulitan dengan masalah kelistrikan sementara kita memiliki keahlian dalam hal itu, kita juga bisa membantunya dan memberikan kemanfaatan dengan keahlian kita.

Keempat, Sikap yang baik

Sikap yang baik kepada sesama juga termasuk kemanfaatan. Baik kemanfaatan itu terasa langsung ataupun tidak langsung. Maka Rasulullah SAW memasukkan senyum kepada orang lain sebagai shadaqah karena mengandung unsur kemanfaatan. Dengan senyum dan sikap baik kita, kita telah mendukung terciptanya lingkungan yang baik dan kondusif.

Semakin banyak seseorang memberikan kelima hal di atas kepada orang lain -tentunya orang yang tepat- maka semakin tinggi tingkat kemanfaatannya bagi orang lain. Semakin tinggi kemanfaatan seseorang kepada orang lain, maka ia semakin tinggi posisinya sebagai manusia menuju “manusia terbaik”.

mari kita belajar dari penggalan kisah diceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahman Asy-Syafii, berkata kepada kami Al-Qasim bin Hasyim As-Samsar, ia berkata : telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Qais Adl-Dlibbi, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Sukain bin Siraj, berkata kepada kami Amr bin Dinar, dari Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, maka ia bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai Allah? Dan apakah amal yang paling dicintai Allah azza wa jalla?” Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain…” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir li Ath-Thabrani juz 11 hlm.84). Wallahu a’lam*

Src : Dunia Islam

Seperti Ini Taqwa Dalam Islam!

Sahabat dunia islam, Kedudukan Taqwa sangat pentingDalam Islam dan kehidupan manusia. Pentingnya kedudukan taqwa itu antara lain dapat dilihat dalam catatan berikut. Disebutkan di sebuah hadis bahwa Abu zar al-Gifari, pada suatu hari, meminta nasihat kepada Rasulullah. Rasulullah menasihati al-Gifari, “Supaya ia taqwa kepada Allah, karena taqwa adalah pokok segala pekerjaan muslim. Dari nasihat Rasulullah itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa taqwa adalah pokok (pangkal) segala pekerjaan muslim.

Di dalam surat al Hujurat (49) ayat 13, Allah mengatakan bahwa, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Pengertian Taqwa yang mudah untuk di pahami dan diamalkan sebagai berikut : 

Pertama, Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang lebih dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Orang yang tawadhu’ adalah orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari Allah SWT. Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain, tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya karena Allah. Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal kebaikan kita.

Kedua, Qanaah ialah menerima dengan cukup.

Qanaah itu mengandung lima perkara:
Menerima dengan rela akan apa yang ada.
Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
Bertawakal kepada Tuhan.
Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.

Itulah yang dinamai Qanaah, dan itulah kekayaan yang sebenarnya.

Rasulullah saw bersabda:

“Bukanlah kekayaan itu lantaran banyak harta,, kekayaan ialah kekayaan jiwa”.

artinya: Diri yang kenyang dengan apa yang ada, tidak terlalu haloba dan cemburu, bukan orang yang meminta lebih terus terusan. Kerana kalau masih meminta tambah, tandanya masih miskin.

Ketiga, Wira’i berasal dari kata ‘wara’ yang artinya menjaga diri atau bertakwa. Sehingga wira’i adalah malu berbuat maksiat kepada Allah dan manusia. Selain itu wira’i juga diartikan sebagai suatu sikap menjauhkan diri dengan hal-hal yang haram dan syubhat. Karena wira’i merupakan inti agama dan yang berada dikawasan itu merupakan pangkal kebaikan bagi para ulama yang mengamalkan ilmunya. Jikalau semangat wirai terbangun dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maka tidak akan terjadi tindakan-tindakan tak terpuji seperti pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, korupsi, dan lain sebagainya.

Keempat, Yaqin adalah percaya. Maksudnya ialah percaya dengan sepenuh hati apa yang dikerjakan nya dan bersungguh2 untuk mendapatkan Ridha dari Allah SWT.

Inilah Ciri-Ciri Orang Sombong Dalam Islam

Salah satu penyakit hati dalam diri manusia yang dapat menutup jalan hidayah Allah swt adalah sifat sombong atau takabur. Orang Sombong Dalam Islam adalah Penyakit yg bisa melanda seluruh lapisan masyarakat, dari yang kaya sampai yang miskin, orang alim dan bodoh, yang muslim maupun non muslim, dan lain-lainnya.Sombong adalah watak utama dari Iblis, sebagaimana yang diterangkan dalam banyak ayat dalam Al- Qur’an. Sifat sombongmemang bisa hinggap pada siapapun, namun yang lebih dominan adalah mereka yang mempunyai banyak potensi

Pengertian Sombong / Takabur

Takabbur secara bahasa artinya sombong atau membanggakan diri. Orang sombong selalu membanggakan dirinya, sehingga lupa bahwa semua yang dimilikinya hanyalah karena karunia Allah SWT semata. Dan karunia itu harus disyukuri bukan untuk dibangga-banggakan kepada orang lain.

Sedangkan menurut istilah takabur adalah sikap merasa dirinya lebih dari pada orang lain dan memandang rendah orang lain serta tidak mau taat/ tunduk kepada Allah SWT. Penyebab sikap takabur : harta, kedudukaan ,ilmu & keturunan.

Sifat takabbur hampir sama dengan sifat ujub. Dimana sifat ujub adalah menganggap kelebihan yang ada pada dirinya adalah atas usahanya sendiri. Sedangkan sifat takbbur mengganggap dirinya lebih mampu dan meremehkan orang lain. Sebagaimana firman Allah swt berikut :

”Wala tusa’ir khaddaka linnasi wala tamsyi fil ardi maraha. Innallaha la yuhibbu kulla mukhtalin fakhurin(18)Waqsid fi masyyika wagdud min sautika. Inna ankaral aswati lasautulhamiru(19)”. (QS. Lukman : 31/18 – 19)

Artinya : ”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri(18) Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai(19)”. (QS. Lukman : 31/18 – 19)

Jenis-jenis Takabur

Takabur secara umum terdiri dari 3 jenis yaitu :
Takabur kepada Allah swt, sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Namrud, Raja Fir’aun dan Abu Lahab.
Takabbur kepada Rasulullah saw sehingga jauh dari taat kepada ajaran dan perilaku Rasulullah saw.
Takabbur kepada sesama makhluk Allah swt, seperti takabbur karena memiliki harta yang banyak, ilmu, amal, dan nasab dihadapan orang lain.

Ciri ciri orang sombong

Diantara ciri-ciri manusia yang suka berperilaku sombong/ takabbur adalah sebagai berikut :
Sikap memuji diri, Sikap ini muncul karena merasa dirinya memiliki kelebihan harta, ilmu pengetahuan, dan keturunan atau nasab. Oleh karena itu ia merasa lebih hebat dibanding orang lain.
Merendahkan dan meremehkan orang lain, Sikap ini bisa diwujudkan dengan mamalingkan muka ketika bertemu dengan orang lain yang dikenalnya, karena merasa lebih baik dan lebih hebat darinya.
Suka mencela dan membesar-besarkan kesalahan orang lain, Orang yang takabbur selalu menyangka bahwa dirinyalah yang benar, baik, dan mulia serta mampu malakukan segala sesuatu. Sedangkan orang lain dianggap rendah, kecil, hina dan tak mampu berbuat sesuatu. Bahkan orang lain dimatanya selalu berbuat salah.
Bahaya Sikap Takabur :
Sikap tercela yang sangat dibenci oleh Allah SWT ( Q.S. An Nisa : 36 )
Dibenci oleh orang lain karena keangkuhannya ( Q.S. Lukman ayat 18 )
Dapat mematikan hati manusia ( Q.S. Al Mukmin ayat 35 )
Tidak mensyukuri nikmat Allah SWT ( Q.S. Al Israa ayat 83 )
Akan dimasukan ke dalam neraka ( Q.S. An Nahl ayat 29 )
Cara Menjauhi Sikap Takabur
Membiasakan diri dengan perilaku terpuji. Jika urusan dunia atau rezeki lihatlah manusia yang berada dibawah. Jika urusan akherat lihatlah manusia yang ada diatas tingkat kedekatannya dengan Allah swt.
Membersihkan hati dari sikap takabbur dengan cara memperbanyak zikir kepada Allah swt.
Memperbanyak sahabat, sehingga dengan semakin banyak sahabat akan semakin tahu sisi kehidupan lain dari sahabatnya.

“Wa qala rabbukumud’uni astajiblakum. Innalladina yastakbiruna ‘an ‘ibadati sayadkhuluna jahannama dakhirina”. (QS. Al- Mukmin : 40/60)

Artinya : ”Dan Tuhanmu berfirman, ”Berdoalah kepadaku, niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk ke neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (QS. Al- Mukmin : 40/60)

Rasulullah saw bersabda :

“An qatadata wa zada fihi wa innallah auha ilayya an tawada’u hatta la yafkhara ahadun ‘ala ahadin wala yabgi ahadun ‘ala ahadin”. (HR. Muslim)

Artinya : “Dari Qatadah dan menambah didalamnya, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepada saya supaya kalian bertawadluk hingga tidak ada seorang pun yang menganiaya orang lain dan tidak ada seorangpun yang menyombongkan diri atas orang lain”. (HR. Muslim)

Menurut Imam Al- Ghazali ada tujuh kenikmatan yang menyebabkan seseorang memiliki sifat takbbur yaitu :
Ilmu pengetahuan, orang yang berilmu tinggi atau berpendidikan tinggi merasa dirinya orang yang paling pandai bila dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu atau berpendidikan
Amal ibadah yang tidak jelas dapat menyebabkan sifat takabbur apalagi bila mendapat perhatian dari orang lain
Kebangsawanan, dapat menyebabkan takabbur karena menganggap dirinya lebih tinggi derajadnya daripada kelompok atau kasta lain
Kecantikan dan ketampanan wajah, menjadikan orang merendahkan orang lain dan berperilaku sombong
Harta dan kekayaan, dapat menjadikan orang meremehkan orang miskin
Kekuatan dan kekuasaan, dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya ia dapat berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain tanpa melihat statusnya
Banyak pengikut, teman sejati, karib kerabat yang mempunyai kedudukan dan pejabat-pejabat tinggi.

Semoga dari penjelasan di atas kita menjadi tahu tentang apa itu sombong dalam islam dan menjaga diri dari sifat sombong dalam hidup kita . Dikutip dari mutiaraislam.web.id

Membaca Al-Quran Ada Hikmahnya?

Oleh K. H. Muhammad Arifin Ilham

Assalaamu alaikum wa rahmatullahi wa barkaatuhu.
SubhanAllah duhai sahabatku yg mulia, bacalah diantara Hikmah Hikmah Membaca Al Qur’an apalagi sampai menghafalkannya :

Allah berfirman, “Hai orang-orang yg beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yg bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yg kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yg diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yg diperintahkan” (QS At Tahrim 6).

Rasulullah bersabda, “Bacalah Al Qur’an sesungguhnya ia akan datang di hari Kiamat menjadi syafaat (penolong) bagi pembacanya.” (HR Muslim).

“Di hari Akhirat kelak akan didatangkan Al Qur’an dan orang yg membaca dan mengamalkannya, didahului dg surat Al Baqarah dan Surah Ali ‘Imran, kedua-duanya menjadi hujjah (pembela) orang yg membaca dan mengamalkannya” (HR Muslim).

“Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah orang yg mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya” (HR Bukhari).

“Orang yg membaca Al Qur’an dg terbata-bata karena susah, akan mendapat dua pahala.” (Riwayat Bukhari & Muslim).

“Sesungguhnya orang yg tidak ada dalam dirinya sesuatu pun dari Al Qur’an laksana sebuah rumah yg runtuh” (HR Tirmizi).

“Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga di antara manusia, para sahabat bertanya, “Siapakah mereka ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Para ahli Al Qur’an. Merekalah keluarga Allah dan pilihan-pilihan-Nya” (HR Ahmad).

“Dan perumpamaan orang yg membaca Al Qur’an sedangkan ia hafal ayat-ayatnya bersama para malaikat yg mulia dan taat” (Muttafaqun ‘alaih).

“Cahayanya seperti cahaya matahari dan kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan) yg tidak pernah didapatkan di dunia. Keduanya bertanya, “Mengapa kami dipakaikan jubah ini?” Dijawab,”Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Qur’an” (HR Al-Hakim).

“Ya Allah, jadikan kami, anak cucu keturunan kami, para santri kami, para yatim piatu kami dan keluarga kami sbg penghafal Al Qur’an, jadikan kami orang-orang yg mampu mengambil manfaat dari Al Qur’an dan kelezatan mendengar ucapan-Nya, tunduk kepada perintah-perintah dan larangan-larangan yg ada di dalamnya, dan jadikan kami orang-orang yg beruntung ketika selesai khatam Al Qur’an, Allahumma aamiin”.

Diambil dari Fb K. H. Muhammad Arifin Ilham

24 Juni 2016

Amalan Yang Lebih Utama Dari Shalat, Puasa dan Sedekah?

Sahabat dunia islam, mau tau Amalan Paling Tinggi Derajatnya Menurut Rasulullah tidak?. Dalam Alquran dan sunah Nabi SAW yang banyak menjelaskan macam-macam amal ibadah dengan kedudukan dan keutamaan yang berbeda-beda. Ada yang wajib, sunah, yang asas, dan yang cabang. Selain itu, ada pula yang berfungsi sebagai rukun dan syarat sah ibadah, ada juga yang lebih tinggi kedudukannya dari ibadah yang lain.

Berkaitan dengan ini, para sahabat sering bertanya kepada Rasul SAW tentang amalan yang paling utama dan dianjurkan dalam Islam. Misalnya, pertanyaan Abdullah bin Masud ra tentang amalan yang paling disukai Allah. Rasul menjawab, “Shalat pada waktunya, berbuat baik kepada ibu bapak, dan jihad di jalan Allah.” (HR Bukhari dan Muslim).

“Maukah aku ingatkan kalian dengan suatu amalan yang paling baik; amalan yang paling suci pada apa yang kalian miliki, paling tinggi derajatnya; lebih baik dan utama bagi kamu sekalian daripada menginfakkan emas; lebih baik bagi kamu sekalian daripada kalian berhadap-hadapan dengan musuh, kalian pukul lehernya dan mereka pun memukul leher kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu kami mau, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, “Mengingat Allah.” (HR Tirmidzi).

Jika disimpulkan, perbuatan yang dapat digolongkan dalam amalan paling super adalah mengucapkan kalimat tauhid, menjaga rukun iman dan Islam, berzikir (mengingat Allah), bersedekah dengan harta yang dicintainya, shalat pada waktunya, berbuat baik kepada orang tua, dan berjihad di jalan Allah (dengan maknanya yang sangat luas).

Di samping itu, masih ada amal perbuatan yang patut digolongkan dalam amalan yang paling super (terbaik), yaitu menciptakan kedamaian. Bahkan, kedudukan amalan ini lebih utama daripada derajat ibadah shalat, puasa, dan zakat.

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang suatu amalan yang lebih utama dari pada derajat shalat, puasa, dan sedekah? Yaitu, menciptakan kedamaian (merukunkan) antara manusia sebab kerusakan hubungan di antara manusia adalah pembinasa agama.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Hibban). Wallahu’alam.

Di ambil dari Republika.co.id

Lisan Dijaga? Harus Banget!

“ Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian,hendaklah iya bertutur kata yang baik atau lebih baik diam” (HR. Bhukhari dan Muslim)

Sahabat dunia islam, jika ucapan adalah perak, maka diam adalah emas. ungkapan ini seolah mengisaratkan kita bahwa diam menyelamatkan kita. dan diam itu lebih baik dari pada berkata kata tetapi tidak ada manfaat nya.

Bahkan lisan memegang peranan penting dari 77 cabang keimanan. amal lisan adalah yg paling bnyak jumlah nya. oleh karenanya islam menekankan akan penting nya menjaga lisan dalam kehidupan sehari hari.

Imam al-ghajali rahimahullah memberikan nasehat kepada kita, bahwa lisan sungguh amat besar bahayanya. tidak ada manusia yg bisa selamat dari lisan ini kecuali dengan diam. oleh sebab itu, islam memuji orang yg diam tidak berkata kata kecuali yg keluar dari lisanya ini sebuah perkataan yg baik.
Allah SWT berfirman : ….serta ucapkanlah kata kata yg baik kepada manusia”.(Q.S Al baqarah :83).

Pentingnya Menjaga Lisan

Terkadang menjaga lisan itu sangat sulit dilakukan oleh kita, kecuali orang orang beriman kepada Allah dan menyakini akan adanya hari akhir yaitu hari penuh perhitngan dan pembalasan.

Sahabat dunia islam, yakin lah orang yg berbuat dan beramal shalih pasti akan di balas dgn kesenangan dan kebahagian. sedangkan orang yg tidak berbuat baik dan tidak beramal shalih mendapatkan balasan dari keburukan itu. semoga Allah memberi kepada kita ke istiqomahan dalam beramal shalih.

Sesungguh nya kita mengetahui bahwa lisan merupakan salah satu nikmat yang besar, bentk nya kecil dan halus namun disitu terletak kebaikan dan keburukan seseorang.
amat besar pengaruhnya terhadap yang positif maupun yg negatif dalam kehidupan seorang muslim.

Membahas tentang lisan ada satu nasehat yang sangat berharga dalam hal menjaga lisan, disampaikan oleh Rasulullah SAW dan menjadi tuntunan kita, sebagai mana hadis di atas yaitu “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendak nya berkata baik atau diam”

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Tirmidzi, Uqbah bin Amir berkata : aku pernah bertanya kepada Rasullah SAW, Ya Rasulullah, apakah keselamatan itu? beliau menjawab, tahan lah lisan mu dan hendak nya rumah mu menyenangkan mu (karena penuh dengan dzikir dan mengingat Allah SWT) dan menangislah atas kesalahan mu (karena menyesal). (HR. Tirmidzi).

Diujung pembahasan tentang Pentingnya Menjaga Lisan, mari kita selalu menjaga diri dari ucapan yg tidak bermanfaat seperti gibah, menceritakan keburukan orang lain maupun berbohong dan menfitnah. banyak berbicara yg tidak bermanfaat membuat hati menjadi keras, jika kita tidak mampu untk menjaga semua itu maka lebih baik diam. dan diam merupakan pilihan paling bijak dan menyelamatkan baik dunia maupun akhirat.
tidak sedikit persahabatan menjadi retak hanya karena perkataan yang menyinggung perasaan, banyak pertemanan yang akhirnya berujung pertengkaran dan permusuhan, tidak sedikit pasangan suami istri yang cekcok dan bertengkar dikarenakan ucapan yg salah keluar dari lisan. olehkarena itu. jika kita tidak mampu berkata baik, maka diam jalan yang paling bijak. semoga bermanfaat.

Di ambil dari Buletin Da’wah (H. Abdul Kadir Badjuber, M.Pd.I)

Ini Dia Tingkatan Orang Berpuasa ~Imam Al Ghazali

Sahabat dunia islam, Allah berfirman dalam QS al-Baqarah, 183 : “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa seperti juga yang telah diwajibkan kepada umat sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa”. (QS al-Baqarah, 183).

Ayat di atas merupakan landasan syariah bagi puasa Ramadan. Ayat tersebut berisikan tentang seruan Allah Swt kepada orang-orang beriman untuk berpuasa.

Dalam bahasa arab puasa itu disebut “as-Shiyaam” atau “as-Shaum” yang berarti “menahan”. Kata “as-Shiyaam” atau “as-Shaum” sendiri sama-sama bentuknya sebagai masdar dari kata kerja “shaama-yashuumu-shouman/shiyaman”. Sedangkan menurut syar’i sebagaimana dikemukan oleh Syeikh Al-Imam Al-‘Alim Al-Allamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i dalam kitabnya “Fathul Qarib” bahwa berpuasa adalah menahan dari segala hal yang membatalkan puasa dengan niat tertentu pada seluruh atau tiap-tiap hari yang dapat dibuat berpuasa oleh orang-orang Islam yang sehat, dan seci dari haid dan nifas.

Setelah kita mengetahui pengertian dan hukum puasa ramadhan maka kita juga harus tahu Tingkatan Orang Berpuasa, Mengutip pesan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin Puasa memiliki tiga tingkat. Yakni puasanya orang awam, puasanya orang khusus ‎dan puasa khusus buat orang khusus.

Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin menerangkan tingkatan dalam berpuasa. Shaumul umum, shaumul ‎khusus, dan shaumul khususil khusus. Ketiganya bagaikan tingkatan tangga yang manarik orang berpuasa agar bisa mencapai tingkatan yang khususil khusus.

Pertama, Puasa orang awam (orang kebanyakan), Puasa orang awam adalah menahan makan dan minum dan menjaga kemaluan dari godaan syahwat. Tingkatan puasa ini menurut Al-Ghazali adalah tingkatan puasa yang paling rendah, kenapa? Karena dalam puasa ini hanyalah menahan dari makan, minum, dan hubungan suami istri Kalau puasanya hanya karena menahan makan dan minum serta tidak melakukan hubungan suami isteri di siang hari, maka kata Rasulullah Saw puasa orang ini termasuk puasa yang merugi yaitu berpuasa tapi tidak mendapatkan pahala melainkan sedikit. Hal ini lah yang diwanti-wanti oleh Rasulullah Saw dengan sabdanya: “banyak orang berpuasa tapi tidak mendapatka pahala berpuasa, yang ia dapatkan hanya lapar dan dahaga.”

Kedua, ‎Puasanya orang khusus adalah selain menahan makan dan minum serta syahwat juga menahan pendengaran, pandangan, ucapan, gerakan tangan dan kaki dari segala macam bentuk dosa,” tulis Imam Ghazali.

Maka puasa ini sering disebutnya dengan puasa para Shalihin (orang-orang saleh). Menurut Al- Ghazali, seseorang tida akan mencapai kesempurnaan dalam tinkatan puasa kedua ini kecuali harus melewati enam hal sebagai prasayaratnya, yaitu 1) menahan pandangan dari segala hal yang dicela dan dimakruhkan; 2) menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Al-Quran; 3) menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik; 4) mencegah anggota tubuh yang lain dari perbuatan dosa; 5) tidak berlebih-lebihan dalam berbuka, sampai perutnya penuh makanan; 6) hatinya senantiasa diliputi rasa cemas (khauf) dan harap (raja) karena tidak diketahui apakah puasanya diterima atau tidak oleh Allah.

Ketiga, Puasa khususnya orang yang khusus adalah ‎puasanya hati dari kepentingan jangka pendek dan pikiran-pikiran duniawi serta menahan segala hal yang dapat memalingkan dirinya pada selain Allah SWT.

puasa khusus yang lebih khusus lagi yaitu, di samping hal di atas adalah puasa hati dari segala keinginan hina dan segala pikiran duniawi, serta mencegah memikirkan apa-apa selain Allah Swt (shaum al-Qalbi ‘an al-Himam ad-Duniyati wa al-Ifkaar al-Dannyuwiyati wakaffahu ‘ammaa siwa Allaah bi al-Kulliyati). Menurut Al-Ghazali, tingkata puasa yang ketiga ini adalah tingkatan puasanya para nabi , Shiddiqqiin, dan muqarrabin.

Mari kita renungkan masuk ke tingkatan manakah puasa kita? Mudah-mudahan masuk pada tingkatan puasa yang kedua dan ketiga. Amin

Penulisan Insya Allah Yang Benar?

Sahabat Dunia Islam, Banyak di Antara kita yang masih berselisih pendapat tentang Penulisan In Syaa Allah atau In Shaa Allah di SMS atau Chatt mana yang benar yah?. Kesalahan dalam penulisan dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan makna. Jadi, kita akan membahas mengenai hal ini.

Makna kata Insya Allah berarti bahwa segala rencana kita hanya akan terlaksana jika Allah menghendakinya, sebuah keyakinan totalitas bahwa Tuhan Maha Berkuasa di atas segala rencana manusia.

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,’ tanpa (dengan menyebut), ‘Insya Allah.’” [QS. Al-Kahfi: 23]

Seperti yang kita ketahui, bahwa bahasa Arab dan bahasa Indonesia tentu berbeda. Bila bahasa Indonesia disusun berdasarkan huruf alfabet A-B-C dan seterusnya, hal ini sama seperti bahasa Inggris. Sedangkan bahasa Arab tersusun dari huruf hijaiyah semisal ا (alif), ب (ba), ت (ta) dan seterusnya.

Perbedaan inilah yang akhirnya mengharuskan adanya transliterasi (penyesuaian penulisan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia), misalnya, kata الله dalam bahasa Arab, bila di-transliterasikan ke dalam bahasa Indonesia bisa jadi “Allah”, “Alloh”, “Awloh” atau apapun yang senada dengan bacaan asli Arabnya, tergantung kesepakatan transliterasi.

Penjelasan Penulisan In Syaa Allah atau In Shaa Allah Maka dalam hal ini:

إن = bila

شاء = menghendaki

الله = Allah

jadi artinya إنشاءالله = bila Allah berkehendak

Kembali ke transliterasi, bgaimanakah kesepakatan kita mau mentransliterasikan huruf ش jadi apa? “syaa” atau “shaa”?

Kalau di negeri dengan berbahasa Inggris, kata ش diartikan jadi “shaa”. Sedangkan di Indonesia transliterasi ش adalah “syaa”.

Di Indonesia, “shaa” sudah ditransliterasikan dari huruf ص.

Terkait tanggapan yang mengatakan “InsyaAllah” berarti artinya “menciptakan Allah”, yang satu ini beda lagi masalahnya karena إنشاء (menciptakan/membuat) beda dengan إنشاء (bila menghendaki). Pemakaiannya dalam kalimat berdasarkan kaidah bahasa Arab pun berbeda bunyinya,

bila إنشاءالله dibacanya “InsyaAllahu” (bila Allah menghendaki)

bila إنشاءالله dibacanya “Insyaullahi” (menciptakan Allah)

Jadi kesimpulannya:

Jika kita mengacu pada transliterasi bahasa Indonesia yang sudah di sepakati, maka yang sesuai penulisan adalah Insyaa Allah.

Adapun jika kita nulis menggunakan “Insya Allah”, atau “In Syaa Allah”, atau “In Shaa Allah” namun cara membacanya sama dengan versi arabnya, yang berarti “bila Allah menghendaki”, maka diperbolehkan. Untuk amannya, sebenarnya akan lebih baik jika menggunakan penulisan dengan huruf arab.

Waallahu a’laam bishowab.

DI kutip dari Majalah Ummi Online